Mencermati
pemberitaan di berbagai media massa
tentang persoalan asuransi kesehatan warga miskin (askeskin) akhir-akhir ini,
timbul pertanyaan menggelitik seperti “Dilarang sakitkah orang miskin?”
Sungguh komplet persolan rakyat
di negeri ini. Bencana bertubi-tubi datang silih berganti, seakan tak pernah
berujung. Diberitakan bahwa beberapa rumah sakit (RS) menolak melayani pasien
miskin karena tunggakan klaim askeskinnya belum dibayar oleh PT Askes.
Berita lain menyebutkan beberapa pasien
miskin tak lagi bias cuci darah karena RS menolak kalau mereka tidak mau bayar
sendiri. Berita mengejutkan ditayangkan sebuat TV swasta, bahwa ada calo yang
bergentayangan di RS untuk menguruskan pasien askeskin mendapat kamar Sungguh
kondisi itu membuat kita mengelus dada.
Salah siapakah itu, sudah miskin
sakit pula? Jawaban apa yang bisa diberikan kepada sebagian besar masyarakat
kita. Bukankah dalam konstitusi kita (UUD 45) setiap rakyat Indonesia dijamin
haknya untuk hidup layak, yang artinya pula hak untuk hidup sehat.
Dalam Undang-Undang (UU) 23/1992
tentang Kesehatan disebutkan, masyarakatberhak untuk memperoleh derajat
kesehatan yang optimal. Amanat dari ketentuan UU itu adalah bahwa pemerintah
mempunyai tanggung jawab (kewajiban) untuk memenuhi hak masyarakat.
Kebijakan pemerintah untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan (khusunya bagi rakyat miskin) melalui
fasilitas jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) atau yang biasa dikenal dengan
askeskin, sesungguhnya adalah dalam rangka menjamin hak masyarakat sebagaimana
tersebut dalam UU. Maka, pemerintah kemudian menjalin kerjasama dengan PT.
Askes, salah satu BUMN di negeri ini, untuk mengelola dana pertanggungan bagi
pasien miskin di seluruh Indonesia.
Pemerintah pun kemudian memberi tugas
kepada RS diseluruh Indonesia (yang
ditunjuk) untuk melayani pasien miskin dengan pertanggungan biaya yang dikelola
melalui PT Askes tersebut.
Namun demikian, di dalam
perjalanannya melalui berbagai mekanisme evaluasi, ternyata ditemukan banyak
penyimpangan, yang sumbernya adalah dari BUMN mitra pemerintah tersebut. Meski bukan
sumber permasalahan satu-satunya karena ada temuan pula bahwa RS pun ada yang “nakal”
dengan melipatgandakan klaim lima kali lipat, tapi kasus yang seperti itu harus
dilakukan verifikasi dengan cermat tentang kebenarannya.
Menyikapi hal tersebut, Menteri
Kesehatan mengambil langkah “cepat” dengan menghentikan segera kontrak
kerjasamanya s/d akhir Desember 2007 (tidak memperpanjang kontrak) dengan PT
Askes.
Dinyatakan pula bahwa sejak 1
Januari 2008, pelayanan askeskin ditangani sendiri oleh pemerintah, serta
diserahkan pengelolaan dan pemanfaatannya kepada daerah setempat. Hal itu
tertuang dalam SK Menkes 115/Menkes/2008 bertanggal 4 Februari 2008 tentang
Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin.
Dilema
Pemutusan kerja sama dengan PT Askes secara mendadak
sebagaimana dilakukan saat ini, ternyata berimplikasi kepada banyak pihak,
terutama dalam jangka pendek, terhadap masyarakat miskin.
Sesungguhnya
kebijakan itu bermaksud untuk tujuan efektivitas penyelenggaraan jaminan
pemeliharaan kesehatan bagi rakyat miskin. Namun sayang sekali, kebijakan itu
sepertinya dilakukan dengan terburu-buru (dapat dilihat dari rentang waktu
antara pernyataan penghentian kerjasama dengan terbitnya SK Menkes tentang JPK
Masyarakat Miskin)
Tampak
bahwa kebijakan itu tidak memikirkan secara cermat mekanisme pelaksanaannya; di
antaranya penyiapan masa transisi peralihan dari system lama ke system baru,
dan banyak hal teknis lainnya. Belum lagi persoalan hukum yang mincul, yang
potensial menjadi sebuah sengketa.
Intinya
kebijakan itu ternyata memunculkan problem yang dilematis, yang tidak saja
dihadapi oleh pemerintah (Depkes) tetapi juga oleh RS, dan terutama bagi
masyarakat miskin. Bahkan, DPR memberikan ultimatum kepada Menkes untuk segera
menyelesaikan masalah askeskin tersebut.
Bagi
pemerintah, tentu kebijakan itu sudah kepalang basah, mau tidak mau program
harus tetap berjalan, risikonya adalah dengan segera mengeluarkan perintah
kepada semua RS –baik negeri maupun swasta—untuk tetap melayani pasien miskin. Selain
itu, segera mengucurkan dan kepada RS-RS yang ditunjuk.
Tapi
sungguh sayang, ternyata ditemukan fakta bahwa diantara 800 RS yang ditunjuk di
seluruh Indonesia, yang akan diberi dana pelayanan pasien miskin , hanya ada 5
% yang mempunyai rekening untuk dapat segera ditransfer dana.
Sementara
itu dalam penyataannya, Jum’at 15 Februari 2008 di Yogyakarta, Dirjen Yanmed,
mengatakan bagi RS yang tidak melayani akan dikenai sanksi. Secara yuridis, hal
itu menimbulkan pertanyaan besar ketentuan hukum manakah yang akan dijadikan
dasar terhadap tindakan tersebut.
Adilkah hal tersebut dilihat dari kepentingan RS? Hal itu
sebenarnya menunjukkan pula ketidaksiapan dan ketidakkonsekuenan pemerintah
dalam kebijakan baru tersebut.
Apalagi
ada persoalan yang belum jelas berkaitan dengan ketentuan tentang criteria masyarakat
miskin, karena belum ditemukannya verifikator independen untuk menangani
masalah itu.
Lalu
kriteria apa yang dipakai untuk melayani pasien miskin selama ini? Sungguh aneh.
Bagi
RS, selaku pihak yang diserahi tugas untuk melaksanakan salah satu tugas
pemerintah dalam pelayanan kesehatan, dilemma yang dihadapi cukup kompleks,
terlebih bagi RS swasta yang pembiayaannya ditanggung sendiri. Bisa jadi RS
bangkrut (tutup) karena harus menanggung biaya untuk pelayanan pasien miskin,
pelayanan kemanusiaan. Dengan harus membayar kewajiban kepada pihak ketiga,
seperti gaji karyawan tenaga kesehatan, obat, dan dalam hal tertentu peralatan
kesehatan, serta biaya operasional lainnya.
Adapun
bagi pasien miskin, dilemma terbesar yang dihadapi adalah terobati atau tidak
terobati, secara ekstrem bisa disebut dilemanya adalah pilih hidup atau mati. Apalagi
untuk mereka yang termasuk kategori pasien risiko tinggi, perlu perawatan
khusus seperti cuci darah. Haruskah mereka tak tertolong karena ditolak oleh
RS, atau kemanakah mereka harus mencari dana untuk bisa mendapatkan perawatan
atau pengobatan. Kemana mereka harus ngutang,
atau apa yang bisa mereka jual untuk ongkos pengobatan?
Jawabannya,
secara umum adalah dengan menghentikan pengobatan dan pasrah. Maka muncul
ungkapan yang menyakitkan untuk menjawab persoalan itu, yakni “dilarang
sakitkah orang miskin?”
Oleh: Dr. Endang Wahyati Yustina, SH.,MH
Diterbitkan oleh: Koran Harian Suara
Merdeka,
Selasa 26 Februari 2008