Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata Semarang, merupakan penyelenggara pertama di Indonesia. Menghasilkan tenaga ahli di bidang Hukum Perumahsakitan, Hukum Kesehatan Masyarakat serta Penegakan Hukum Kesehatan
Translate
27 Juni 2012
13 Juni 2012
Berburu Sisi lain Kesehatan di Melaka (2)-- Belajar Perihal Keistimewaan dari Kompetitor
Jum’at 25 Mei 2012, mahasiswa Magister
Hukum Kesehatan melakukan perjalanan
studi banding ke Mahkota Medical Centre di Melaka, Malaysia, sebelumnya Ketua Prodi
Magister Hukum Kesehatan Prof Dr. Agnes Widanti SH .CN, telah mengingatkan,
”Memasuki dunia global kita tidak boleh sembarangan. Kita harus belajar dari
kompetitor secara arif. Kita harus tahu bagaimana mereka menerapkan hukum
kesehatan dalam praktik kesehatan.”
Karena menjadi anggota Asosiasi Rumah
Sakit Swasta Malaysia (Association of Private Hospital Malaysia), menerapkan
kebijakan tarif yang tidak menguras kantong pasien. Tarifnya standar. Pasien
boleh protes jika ternyata mereka menarik biaya yang berlebihan.
Hak-hak pasien
(patient rights) juga sangat dihormati. Para pembesuk hanya diperkenankan
datang pada waktu yang sudah ditentukan. Orang lain —termasuk wartawan— tidak
boleh memotret segala aktivitas yang terjadi, sehingga memang segala tindakan
hanya diarahkan untuk kenyamanan dan kesehatan si sakit.
Untuk mendukung
kenyamanan pasien, MMC yang memiliki dua gedung sebelas lantai dilengkapi 10
kamar bedah, sembilan ranjang ICU, empat ranjang perawatan jantung Cardiac ICU,
dan 288 ranjang rawat inap, ini menyediakan 64 dokter spesialis.
Para dokter tidak
boleh membuka praktik di tempat lain. Hanya mencurahkan kepiawaiannya untuk
pasien di rumah sakit MMC sepanjang waktu. Ini yang membuat MMC tampak istimewa
sehingga para pasien dari Indonesia kian melirik ke MMC
Beberapa mahasiswa,
seperti Rizki Adiwahyono dan Reggy
Tingogoy, dua dokter yang kini sedang belajar di Program Magister Hukum
Kesehatan Unika Soegijapranata, misalnya, begitu sampai di kawasan Bukit
Bintang, Kuala Lumpur, segera melakukan observasi yang mendebarkan.
Mereka menyusup ke
panti panti pijat yang bertebaran, dan menemukan bagaimana ”kesehatan global”
dimanfaatkan untuk bisnis seks.
Mula-mula mereka
ditawari untuk melakukan spa kesehatan dengan perawat dari berbagai bangsa oleh
pria berusia 60 tahunnan. Mereka kemudian masuk ke hotel lewat pintu belakang
dan naik ke lantai 6 dengan lift. Di sebuah ruangan mereka disuguhi perempuan
yang diklaim dari berbagai bangsa —antara lain China, Indonesia, Malaysia, dan
Eropa—dan disediakan ruangan untuk melakukan spa kesehatan itu.
”Sebagai pasien, jiwa
dan raga Anda akan disegarkan,” kata sang pemandu.
Bak detektif, Reggy
dan Rizki membiarkan segala tawaran muncul.
”Jika tidak senang kepada yang ada di
sini, kami punya cabang lain. Yang penting bagi kami, pasien macam Anda akan
segera sehat jiwa dan raga,” kata pemandu dengan logat Indonesia sedikit melayu
yang kuat.
Kedua dokter itu
akhirnya memang tidak menuruti keinginan pemandu. Meskipun demikian, mereka
telah mendapatkan data betapa di Bukit Bintang, ”kesehatan spa” hanyalah sebuah
kedok untuk menjual kemolekan tubuh perempuan.
”Tapi yang sangat
canggih, semua istilah kesehatan mereka kuasai, sehingga siapa pun akan
terjebak pada iming-iming kesehatan terlebih dulu,” kata Rizki.
”Rizki beruntung.
Perjalanan ke Malaysia bisa dijadikan sebagai titik awal untuk membuat tesis.
Ini sebuah bonus. Ia memang harus mempelajari bagaimana kesehatan
disalahgunakan dan hukum kesehatan diterapkan di Malaysia,” kata Endang, sang
pembimbing.
Dan Rizki telah
mendapatkan segalanya. Dengan memburu sisi lain kesehatan di Malaysia, ia telah
mendapatkan data awal yang baik untuk tesisnya.
Sumber: Triyanto Triwikromo- Suara Merdeka, 9 Juni 2012
Sumber: Triyanto Triwikromo- Suara Merdeka, 9 Juni 2012
Berburu Sisi Lain Kesehatan di Melaka (1)-- Tak Sekedar Merawat Si Sakit
Dunia
kesehatan telah memasuki era globalisasi.
Ada
banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk memasuki kondisi serba digital, serba plus,
dan berbasis pada kebutuhan generasi masa depan ini.
Menyadari
situasi semacam itu, Program Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata
mengadakan studi banding ke Mahkota Medical Centre di Melaka, Malaysia, belum
lama ini.
Memasuki era globalisasi dan hidup dalam pengaruh perubahan
perkotaan. Semua berubah, termasuk dunia kesehatan. Karena itu, kita harus
mempelajari apa pun yang telah dilakukan oleh RS yang mengglobal, dan untuk itulah
Magister HukumKesehatan mengadakan KKL ke Malaysia, demikian seperti yang
dikatakan oleh Direktur Pascasarjana Unika Soegijapranata, Dr .Ir .A .Rudyanto
Soesilo, MSA.
Mahkota Medical Centre (MMC), yang
terletak di Jalan Merdeka, Melaka, pun akhirnya jadi tempat belajar yang
dicecap segala saripatinya. Rumah sakit yang dibalut arsitektur posmo ini
sesungguhnya masih sangat muda.
Mulai beroperasi pada 1994, pusat
pengobatan yang dikelola oleh Health Internantional Management (Singapura) ini,
memang bertetangga dengan berbagai objek wisata semacam Benteng Famosa, Gedung
Stadthuys, Museum Cheng Ho, Menara Tamingsari, dan Jonker Street.
Kawasan mirip Kota Lama Semarang
--lengkap dengan Chinatown-itu bisa dicapai lima hingga 10 menit dari pusat
pengobatan.
Tak hanya itu. Dekat dari segala yang
serba klinis itu, kira-kira lima sampai 10 lima menit jalan kaki, ada Holiday
Inn (hotel bintang lima seharga Rp 1.200.000-Rp 1.800.000), Mahkota Hotel &
Apartment (bintang empat), dan Fenix Inn dengan harga yang lebih ringan.
Adapun pusat perbelanjaan yang
mengitari rumah sakit itu antara lain Mal Dataran Pahlawan, Mal Mahkota Parade,
dan Hatten Square.
“Apa
yang menarik dari fenomena ini?“ tanya
Sekretaris Prodi Magister Hukum Kesehatan Dr .Endang Wahyati Y, SH.,MH kepada
32 mahasiswa yang mengikuti studi banding itu.
Menjawab sendiri pertanyaan itu, Dr.
Endang Wahyati Y, SH.,MH mengatakan “Pusat pengobatan ini tidak mengontruksi
dirinya sebagai sesuatu yang otonom. Para pengelola tidak sekadar mengurusi si sakit, tetapi juga memberi pelayanan kepada
yang sehat. Karena itu, si sakit diberi pelayanan kesehatan, yang sehat diberi
mal, tempat wisata, dan segala yang memungkinkan kemunculan harmoni antara si
sakit dan yang sehat”.
Intinya: mereka mengelola rumah sakit
ini secara terpadu, bahkan bekerja sama dengan maskapai penerbangan.“ Kantor
Cabang Bukti lain betapa MMC telah menangkap globalisasi sebagai sesuatu yang
tidak boleh diabaikan muncul dalam upaya mereka membuka kantor cabang serta
pelayanan dan informasi di Indonesia dan Kamboja.
Di Indonesia antara lain mereka membuka
pelayanan di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bali, Banda Aceh, dan Batam. Relasi
dengan MCC juga bisa dilakukan secara digital, sehingga memudahkan calon pasien
dari mana pun bisa mengadakan koneksi dengan mereka secepat mungkin.
Bahkan di rumah sakit ada hotspot dan
kios internet, sehingga pasien dan keluarga bisa berhubungan dengan dunia kapan
pun.
Dilihat sepintas, MCC tampak sebagai
semacam usaha bisnis kesehatan murni.
Mereka tidak mengurusi jaminan
kesehatan, sebab pemerintahlah yang bertanggung jawab pada kesehatan orang-orang
miskin.
Ditanya apakah tidak mempunyai
tanggungjawab social, humas MMC menjawab bahwa mereka memang tidak melayani para pengguna jaminan
kesehatan (1 RM untuk penduduk dan 5 RM untuk orang asing). Akan tetapi MMC
memberikan semacam corporate social responsibility (CSR) ke berbagai kota di
dalam dan luar negeri. Kami sering menyelenggarakan khitanan massal atau
pengobatan gratis,“ tutur Aznan Sham Azhari, humas MMC.
Sumber:
Triyanto Triwikromo- Suara Merdeka, 8 Juni 2012
Langganan:
Postingan (Atom)