Jum’at 25 Mei 2012, mahasiswa Magister
Hukum Kesehatan melakukan perjalanan
studi banding ke Mahkota Medical Centre di Melaka, Malaysia, sebelumnya Ketua Prodi
Magister Hukum Kesehatan Prof Dr. Agnes Widanti SH .CN, telah mengingatkan,
”Memasuki dunia global kita tidak boleh sembarangan. Kita harus belajar dari
kompetitor secara arif. Kita harus tahu bagaimana mereka menerapkan hukum
kesehatan dalam praktik kesehatan.”
Karena menjadi anggota Asosiasi Rumah
Sakit Swasta Malaysia (Association of Private Hospital Malaysia), menerapkan
kebijakan tarif yang tidak menguras kantong pasien. Tarifnya standar. Pasien
boleh protes jika ternyata mereka menarik biaya yang berlebihan.
Hak-hak pasien
(patient rights) juga sangat dihormati. Para pembesuk hanya diperkenankan
datang pada waktu yang sudah ditentukan. Orang lain —termasuk wartawan— tidak
boleh memotret segala aktivitas yang terjadi, sehingga memang segala tindakan
hanya diarahkan untuk kenyamanan dan kesehatan si sakit.
Untuk mendukung
kenyamanan pasien, MMC yang memiliki dua gedung sebelas lantai dilengkapi 10
kamar bedah, sembilan ranjang ICU, empat ranjang perawatan jantung Cardiac ICU,
dan 288 ranjang rawat inap, ini menyediakan 64 dokter spesialis.
Para dokter tidak
boleh membuka praktik di tempat lain. Hanya mencurahkan kepiawaiannya untuk
pasien di rumah sakit MMC sepanjang waktu. Ini yang membuat MMC tampak istimewa
sehingga para pasien dari Indonesia kian melirik ke MMC
Beberapa mahasiswa,
seperti Rizki Adiwahyono dan Reggy
Tingogoy, dua dokter yang kini sedang belajar di Program Magister Hukum
Kesehatan Unika Soegijapranata, misalnya, begitu sampai di kawasan Bukit
Bintang, Kuala Lumpur, segera melakukan observasi yang mendebarkan.
Mereka menyusup ke
panti panti pijat yang bertebaran, dan menemukan bagaimana ”kesehatan global”
dimanfaatkan untuk bisnis seks.
Mula-mula mereka
ditawari untuk melakukan spa kesehatan dengan perawat dari berbagai bangsa oleh
pria berusia 60 tahunnan. Mereka kemudian masuk ke hotel lewat pintu belakang
dan naik ke lantai 6 dengan lift. Di sebuah ruangan mereka disuguhi perempuan
yang diklaim dari berbagai bangsa —antara lain China, Indonesia, Malaysia, dan
Eropa—dan disediakan ruangan untuk melakukan spa kesehatan itu.
”Sebagai pasien, jiwa
dan raga Anda akan disegarkan,” kata sang pemandu.
Bak detektif, Reggy
dan Rizki membiarkan segala tawaran muncul.
”Jika tidak senang kepada yang ada di
sini, kami punya cabang lain. Yang penting bagi kami, pasien macam Anda akan
segera sehat jiwa dan raga,” kata pemandu dengan logat Indonesia sedikit melayu
yang kuat.
Kedua dokter itu
akhirnya memang tidak menuruti keinginan pemandu. Meskipun demikian, mereka
telah mendapatkan data betapa di Bukit Bintang, ”kesehatan spa” hanyalah sebuah
kedok untuk menjual kemolekan tubuh perempuan.
”Tapi yang sangat
canggih, semua istilah kesehatan mereka kuasai, sehingga siapa pun akan
terjebak pada iming-iming kesehatan terlebih dulu,” kata Rizki.
”Rizki beruntung.
Perjalanan ke Malaysia bisa dijadikan sebagai titik awal untuk membuat tesis.
Ini sebuah bonus. Ia memang harus mempelajari bagaimana kesehatan
disalahgunakan dan hukum kesehatan diterapkan di Malaysia,” kata Endang, sang
pembimbing.
Dan Rizki telah
mendapatkan segalanya. Dengan memburu sisi lain kesehatan di Malaysia, ia telah
mendapatkan data awal yang baik untuk tesisnya.
Sumber: Triyanto Triwikromo- Suara Merdeka, 9 Juni 2012
Sumber: Triyanto Triwikromo- Suara Merdeka, 9 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar