Dunia
kesehatan telah memasuki era globalisasi.
Ada
banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk memasuki kondisi serba digital, serba plus,
dan berbasis pada kebutuhan generasi masa depan ini.
Menyadari
situasi semacam itu, Program Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata
mengadakan studi banding ke Mahkota Medical Centre di Melaka, Malaysia, belum
lama ini.
Memasuki era globalisasi dan hidup dalam pengaruh perubahan
perkotaan. Semua berubah, termasuk dunia kesehatan. Karena itu, kita harus
mempelajari apa pun yang telah dilakukan oleh RS yang mengglobal, dan untuk itulah
Magister HukumKesehatan mengadakan KKL ke Malaysia, demikian seperti yang
dikatakan oleh Direktur Pascasarjana Unika Soegijapranata, Dr .Ir .A .Rudyanto
Soesilo, MSA.
Mahkota Medical Centre (MMC), yang
terletak di Jalan Merdeka, Melaka, pun akhirnya jadi tempat belajar yang
dicecap segala saripatinya. Rumah sakit yang dibalut arsitektur posmo ini
sesungguhnya masih sangat muda.
Mulai beroperasi pada 1994, pusat
pengobatan yang dikelola oleh Health Internantional Management (Singapura) ini,
memang bertetangga dengan berbagai objek wisata semacam Benteng Famosa, Gedung
Stadthuys, Museum Cheng Ho, Menara Tamingsari, dan Jonker Street.
Kawasan mirip Kota Lama Semarang
--lengkap dengan Chinatown-itu bisa dicapai lima hingga 10 menit dari pusat
pengobatan.
Tak hanya itu. Dekat dari segala yang
serba klinis itu, kira-kira lima sampai 10 lima menit jalan kaki, ada Holiday
Inn (hotel bintang lima seharga Rp 1.200.000-Rp 1.800.000), Mahkota Hotel &
Apartment (bintang empat), dan Fenix Inn dengan harga yang lebih ringan.
Adapun pusat perbelanjaan yang
mengitari rumah sakit itu antara lain Mal Dataran Pahlawan, Mal Mahkota Parade,
dan Hatten Square.
“Apa
yang menarik dari fenomena ini?“ tanya
Sekretaris Prodi Magister Hukum Kesehatan Dr .Endang Wahyati Y, SH.,MH kepada
32 mahasiswa yang mengikuti studi banding itu.
Menjawab sendiri pertanyaan itu, Dr.
Endang Wahyati Y, SH.,MH mengatakan “Pusat pengobatan ini tidak mengontruksi
dirinya sebagai sesuatu yang otonom. Para pengelola tidak sekadar mengurusi si sakit, tetapi juga memberi pelayanan kepada
yang sehat. Karena itu, si sakit diberi pelayanan kesehatan, yang sehat diberi
mal, tempat wisata, dan segala yang memungkinkan kemunculan harmoni antara si
sakit dan yang sehat”.
Intinya: mereka mengelola rumah sakit
ini secara terpadu, bahkan bekerja sama dengan maskapai penerbangan.“ Kantor
Cabang Bukti lain betapa MMC telah menangkap globalisasi sebagai sesuatu yang
tidak boleh diabaikan muncul dalam upaya mereka membuka kantor cabang serta
pelayanan dan informasi di Indonesia dan Kamboja.
Di Indonesia antara lain mereka membuka
pelayanan di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bali, Banda Aceh, dan Batam. Relasi
dengan MCC juga bisa dilakukan secara digital, sehingga memudahkan calon pasien
dari mana pun bisa mengadakan koneksi dengan mereka secepat mungkin.
Bahkan di rumah sakit ada hotspot dan
kios internet, sehingga pasien dan keluarga bisa berhubungan dengan dunia kapan
pun.
Dilihat sepintas, MCC tampak sebagai
semacam usaha bisnis kesehatan murni.
Mereka tidak mengurusi jaminan
kesehatan, sebab pemerintahlah yang bertanggung jawab pada kesehatan orang-orang
miskin.
Ditanya apakah tidak mempunyai
tanggungjawab social, humas MMC menjawab bahwa mereka memang tidak melayani para pengguna jaminan
kesehatan (1 RM untuk penduduk dan 5 RM untuk orang asing). Akan tetapi MMC
memberikan semacam corporate social responsibility (CSR) ke berbagai kota di
dalam dan luar negeri. Kami sering menyelenggarakan khitanan massal atau
pengobatan gratis,“ tutur Aznan Sham Azhari, humas MMC.
Sumber:
Triyanto Triwikromo- Suara Merdeka, 8 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar