Translate

09 Mei 2012

orang miskin dilarang sakit!!!

Mencermati pemberitaan di berbagai media massa tentang persoalan asuransi kesehatan warga miskin (askeskin) akhir-akhir ini, timbul pertanyaan menggelitik seperti “Dilarang sakitkah orang miskin?”
Sungguh komplet persolan rakyat di negeri ini. Bencana bertubi-tubi datang silih berganti, seakan tak pernah berujung. Diberitakan bahwa beberapa rumah sakit (RS) menolak melayani pasien miskin karena tunggakan klaim askeskinnya belum dibayar oleh PT Askes.
Berita lain menyebutkan beberapa pasien miskin tak lagi bias cuci darah karena RS menolak kalau mereka tidak mau bayar sendiri. Berita mengejutkan ditayangkan sebuat TV swasta, bahwa ada calo yang bergentayangan di RS untuk menguruskan pasien askeskin mendapat kamar Sungguh kondisi itu membuat kita mengelus dada.
Salah siapakah itu, sudah miskin sakit pula? Jawaban apa yang bisa diberikan kepada sebagian besar masyarakat kita. Bukankah dalam konstitusi kita (UUD 45) setiap rakyat Indonesia dijamin haknya untuk hidup layak, yang artinya pula hak untuk hidup sehat.
Dalam Undang-Undang (UU) 23/1992 tentang Kesehatan disebutkan, masyarakatberhak untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Amanat dari ketentuan UU itu adalah bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab (kewajiban) untuk memenuhi hak masyarakat.
Kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan (khusunya bagi rakyat miskin) melalui fasilitas jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) atau yang biasa dikenal dengan askeskin, sesungguhnya adalah dalam rangka menjamin hak masyarakat sebagaimana tersebut dalam UU. Maka, pemerintah kemudian menjalin kerjasama dengan PT. Askes, salah satu BUMN di negeri ini, untuk mengelola dana pertanggungan bagi pasien miskin di seluruh Indonesia.
Pemerintah pun kemudian memberi tugas kepada  RS diseluruh Indonesia (yang ditunjuk) untuk melayani pasien miskin dengan pertanggungan biaya yang dikelola melalui PT Askes tersebut.
Namun demikian, di dalam perjalanannya melalui berbagai mekanisme evaluasi, ternyata ditemukan banyak penyimpangan, yang sumbernya adalah dari BUMN mitra pemerintah tersebut. Meski bukan sumber permasalahan satu-satunya karena ada temuan pula bahwa RS pun ada yang “nakal” dengan melipatgandakan klaim lima kali lipat, tapi kasus yang seperti itu harus dilakukan verifikasi dengan cermat tentang kebenarannya.
Menyikapi hal tersebut, Menteri Kesehatan mengambil langkah “cepat” dengan menghentikan segera kontrak kerjasamanya s/d akhir Desember 2007 (tidak memperpanjang kontrak) dengan PT Askes.
Dinyatakan pula bahwa sejak 1 Januari 2008, pelayanan askeskin ditangani sendiri oleh pemerintah, serta diserahkan pengelolaan dan pemanfaatannya kepada daerah setempat. Hal itu tertuang dalam SK Menkes 115/Menkes/2008 bertanggal 4 Februari 2008 tentang Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin.
Dilema
                Pemutusan kerja sama dengan PT Askes secara mendadak sebagaimana dilakukan saat ini, ternyata berimplikasi kepada banyak pihak, terutama dalam jangka pendek, terhadap masyarakat miskin.
                Sesungguhnya kebijakan itu bermaksud untuk tujuan efektivitas penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi rakyat miskin. Namun sayang sekali, kebijakan itu sepertinya dilakukan dengan terburu-buru (dapat dilihat dari rentang waktu antara pernyataan penghentian kerjasama dengan terbitnya SK Menkes tentang JPK Masyarakat Miskin)
                Tampak bahwa kebijakan itu tidak memikirkan secara cermat mekanisme pelaksanaannya; di antaranya penyiapan masa transisi peralihan dari system lama ke system baru, dan banyak hal teknis lainnya. Belum lagi persoalan hukum yang mincul, yang potensial menjadi sebuah sengketa.
                Intinya kebijakan itu ternyata memunculkan problem yang dilematis, yang tidak saja dihadapi oleh pemerintah (Depkes) tetapi juga oleh RS, dan terutama bagi masyarakat miskin. Bahkan, DPR memberikan ultimatum kepada Menkes untuk segera menyelesaikan masalah askeskin tersebut.
                Bagi pemerintah, tentu kebijakan itu sudah kepalang basah, mau tidak mau program harus tetap berjalan, risikonya adalah dengan segera mengeluarkan perintah kepada semua RS –baik negeri maupun swasta—untuk tetap melayani pasien miskin. Selain itu, segera mengucurkan dan kepada RS-RS yang ditunjuk.
                Tapi sungguh sayang, ternyata ditemukan fakta bahwa diantara 800 RS yang ditunjuk di seluruh Indonesia, yang akan diberi dana pelayanan pasien miskin , hanya ada 5 % yang mempunyai rekening untuk dapat segera ditransfer dana.
                Sementara itu dalam penyataannya, Jum’at 15 Februari 2008 di Yogyakarta, Dirjen Yanmed, mengatakan bagi RS yang tidak melayani akan dikenai sanksi. Secara yuridis, hal itu menimbulkan pertanyaan besar ketentuan hukum manakah yang akan dijadikan dasar terhadap tindakan tersebut.
Adilkah hal tersebut dilihat dari kepentingan RS? Hal itu sebenarnya menunjukkan pula ketidaksiapan dan ketidakkonsekuenan pemerintah dalam kebijakan baru tersebut.
                Apalagi ada persoalan yang belum jelas berkaitan dengan ketentuan tentang criteria masyarakat miskin, karena belum ditemukannya verifikator independen untuk menangani masalah itu.
                Lalu kriteria apa yang dipakai untuk melayani pasien miskin selama ini? Sungguh aneh.
                Bagi RS, selaku pihak yang diserahi tugas untuk melaksanakan salah satu tugas pemerintah dalam pelayanan kesehatan, dilemma yang dihadapi cukup kompleks, terlebih bagi RS swasta yang pembiayaannya ditanggung sendiri. Bisa jadi RS bangkrut (tutup) karena harus menanggung biaya untuk pelayanan pasien miskin, pelayanan kemanusiaan. Dengan harus membayar kewajiban kepada pihak ketiga, seperti gaji karyawan tenaga kesehatan, obat, dan dalam hal tertentu peralatan kesehatan, serta biaya operasional lainnya.
                Adapun bagi pasien miskin, dilemma terbesar yang dihadapi adalah terobati atau tidak terobati, secara ekstrem bisa disebut dilemanya adalah pilih hidup atau mati. Apalagi untuk mereka yang termasuk kategori pasien risiko tinggi, perlu perawatan khusus seperti cuci darah. Haruskah mereka tak tertolong karena ditolak oleh RS, atau kemanakah mereka harus mencari dana untuk bisa mendapatkan perawatan atau pengobatan. Kemana mereka harus ngutang, atau apa yang bisa mereka jual untuk ongkos pengobatan?
                Jawabannya, secara umum adalah dengan menghentikan pengobatan dan pasrah. Maka muncul ungkapan yang menyakitkan untuk menjawab persoalan itu, yakni “dilarang sakitkah orang miskin?”

Oleh: Dr. Endang Wahyati Yustina, SH.,MH
Diterbitkan oleh: Koran Harian Suara Merdeka,
Selasa 26 Februari 2008



01 Mei 2012

Visi Misi dan Tujuan Magister Hukum Kesehatan

                                           VISI
Menjadi komunitas akademik yang unggul dalam bidang hukum kesehatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kasih, keadilan, kejujuran, etis, dan humanis.
  MISI
   1. Mengembangkan hukum kesehatan dalam sistem hukum di  
       Indonesia.
  2. Mendorong proses pemahaman dan penerapan hukum yang 
       menjunjung tinggi nilai-nilai etika di bidang kesehatan.
3.     Menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada 
        masyarakat di bidang hukum kesehatan sehingga tercipta perlindungan hukum bagi health care
        providers (HCP) dan health care reciever (HCR) yang seimbang.
4.     Memberikan perhatian dan mencari pemecahan terhadap permasalahan hukum kesehatan yang 
        dihadapi oleh masyarakat melalui komunitas akademik.
5.     Mengembangkan jaringan kerjasama dengan berbagai institusi dan organisasi profesi yang
        berkaitan dengan hukum kesehatan.
TUJUAN
Tujuan pendidikan pada Program Studi Magister Hukum Kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata yaitu  menghasilkan Magister yang memiliki kompetensi:
1.   Profesional di bidang hukum kesehatan sehingga mampu mengembangkan hukum kesehatan sebagai  sub sistem hukum nasional dan responsif terhadap permasalahan aktual.
2.   Berpikir kritis, humanis, dan etis dalam menganalisis masalah-masalah kesehatan dan masalah  masalah   hukum yang dihadapi  dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip hak asasi manusia.
3.   Profesional dalam menangani perkara litigasi maupun non litigasi terhadap permasalahan aktual di  bidang hukum kesehatan.
4.    Melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tinggi.
Pink Bobblehead Bunny