Translate

13 Juni 2012

Berburu Sisi lain Kesehatan di Melaka (2)-- Belajar Perihal Keistimewaan dari Kompetitor

Jum’at 25 Mei 2012, mahasiswa Magister Hukum Kesehatan melakukan  perjalanan studi banding ke Mahkota Medical Centre di Melaka, Malaysia, sebelumnya Ketua Prodi Magister Hukum Kesehatan Prof Dr. Agnes Widanti SH .CN, telah mengingatkan, ”Memasuki dunia global kita tidak boleh sembarangan. Kita harus belajar dari kompetitor secara arif. Kita harus tahu bagaimana mereka menerapkan hukum kesehatan dalam praktik kesehatan.”

Karena menjadi anggota Asosiasi Rumah Sakit Swasta Malaysia (Association of Private Hospital Malaysia), menerapkan kebijakan tarif yang tidak menguras kantong pasien. Tarifnya standar. Pasien boleh protes jika ternyata mereka menarik biaya yang berlebihan.
Hak-hak pasien (patient rights) juga sangat dihormati. Para pembesuk hanya diperkenankan datang pada waktu yang sudah ditentukan. Orang lain —termasuk wartawan— tidak boleh memotret segala aktivitas yang terjadi, sehingga memang segala tindakan hanya diarahkan untuk kenyamanan dan kesehatan si sakit.
Untuk mendukung kenyamanan pasien, MMC yang memiliki dua gedung sebelas lantai dilengkapi 10 kamar bedah, sembilan ranjang ICU, empat ranjang perawatan jantung Cardiac ICU, dan 288 ranjang rawat inap, ini menyediakan 64 dokter spesialis.
Para dokter tidak boleh membuka praktik di tempat lain. Hanya mencurahkan kepiawaiannya untuk pasien di rumah sakit MMC sepanjang waktu. Ini yang membuat MMC tampak istimewa sehingga para pasien dari Indonesia kian melirik ke MMC
Beberapa mahasiswa, seperti  Rizki Adiwahyono dan Reggy Tingogoy, dua dokter yang kini sedang belajar di Program Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata, misalnya, begitu sampai di kawasan Bukit Bintang, Kuala Lumpur, segera melakukan observasi yang mendebarkan.
Mereka menyusup ke panti panti pijat yang bertebaran, dan menemukan bagaimana ”kesehatan global” dimanfaatkan untuk bisnis seks.
Mula-mula mereka ditawari untuk melakukan spa kesehatan dengan perawat dari berbagai bangsa oleh pria berusia 60 tahunnan. Mereka kemudian masuk ke hotel lewat pintu belakang dan naik ke lantai 6 dengan lift. Di sebuah ruangan mereka disuguhi perempuan yang diklaim dari berbagai bangsa —antara lain China, Indonesia, Malaysia, dan Eropa—dan disediakan ruangan untuk melakukan spa kesehatan itu.
”Sebagai pasien, jiwa dan raga Anda akan disegarkan,” kata sang pemandu.
Bak detektif, Reggy dan Rizki membiarkan segala tawaran muncul.
”Jika tidak senang kepada yang ada di sini, kami punya cabang lain. Yang penting bagi kami, pasien macam Anda akan segera sehat jiwa dan raga,” kata pemandu dengan logat Indonesia sedikit melayu yang kuat.
Kedua dokter itu akhirnya memang tidak menuruti keinginan pemandu. Meskipun demikian, mereka telah mendapatkan data betapa di Bukit Bintang, ”kesehatan spa” hanyalah sebuah kedok untuk menjual kemolekan tubuh perempuan.
”Tapi yang sangat canggih, semua istilah kesehatan mereka kuasai, sehingga siapa pun akan terjebak pada iming-iming kesehatan terlebih dulu,” kata Rizki.
”Rizki beruntung. Perjalanan ke Malaysia bisa dijadikan sebagai titik awal untuk membuat tesis. Ini sebuah bonus. Ia memang harus mempelajari bagaimana kesehatan disalahgunakan dan hukum kesehatan diterapkan di Malaysia,” kata Endang, sang pembimbing.
Dan Rizki telah mendapatkan segalanya. Dengan memburu sisi lain kesehatan di Malaysia, ia telah mendapatkan data awal yang baik untuk tesisnya.

Sumber: Triyanto Triwikromo- Suara Merdeka, 9 Juni 2012

Berburu Sisi Lain Kesehatan di Melaka (1)-- Tak Sekedar Merawat Si Sakit






Dunia kesehatan telah memasuki era globalisasi.
Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk memasuki kondisi serba digital, serba plus, dan berbasis pada kebutuhan generasi masa depan ini.
Menyadari situasi semacam itu, Program Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata mengadakan studi banding ke Mahkota Medical Centre di Melaka, Malaysia, belum lama ini.


Memasuki era globalisasi dan hidup dalam pengaruh perubahan perkotaan. Semua berubah, termasuk dunia kesehatan. Karena itu, kita harus mempelajari apa pun yang telah dilakukan oleh RS yang mengglobal, dan untuk itulah Magister HukumKesehatan mengadakan KKL ke Malaysia, demikian seperti yang dikatakan oleh Direktur Pascasarjana Unika Soegijapranata, Dr .Ir .A .Rudyanto Soesilo, MSA.

Mahkota Medical Centre (MMC), yang terletak di Jalan Merdeka, Melaka, pun akhirnya jadi tempat belajar yang dicecap segala saripatinya. Rumah sakit yang dibalut arsitektur posmo ini sesungguhnya masih sangat muda.

Mulai beroperasi pada 1994, pusat pengobatan yang dikelola oleh Health Internantional Management (Singapura) ini, memang bertetangga dengan berbagai objek wisata semacam Benteng Famosa, Gedung Stadthuys, Museum Cheng Ho, Menara Tamingsari, dan Jonker Street.
Kawasan mirip Kota Lama Semarang --lengkap dengan Chinatown-itu bisa dicapai lima hingga 10 menit dari pusat pengobatan.

Tak hanya itu. Dekat dari segala yang serba klinis itu, kira-kira lima sampai 10 lima menit jalan kaki, ada Holiday Inn (hotel bintang lima seharga Rp 1.200.000-Rp 1.800.000), Mahkota Hotel & Apartment (bintang empat), dan Fenix Inn dengan harga yang lebih ringan.
Adapun pusat perbelanjaan yang mengitari rumah sakit itu antara lain Mal Dataran Pahlawan, Mal Mahkota Parade, dan Hatten Square.

 “Apa yang menarik dari fenomena ini?“  tanya Sekretaris Prodi Magister Hukum Kesehatan Dr .Endang Wahyati Y, SH.,MH kepada 32 mahasiswa yang mengikuti studi banding itu.
Menjawab sendiri pertanyaan itu, Dr. Endang Wahyati Y, SH.,MH mengatakan “Pusat pengobatan ini tidak mengontruksi dirinya sebagai sesuatu yang otonom. Para pengelola tidak sekadar mengurusi          si sakit, tetapi juga memberi pelayanan kepada yang sehat. Karena itu, si sakit diberi pelayanan kesehatan, yang sehat diberi mal, tempat wisata, dan segala yang memungkinkan kemunculan harmoni antara si sakit dan yang sehat”.

Intinya: mereka mengelola rumah sakit ini secara terpadu, bahkan bekerja sama dengan maskapai penerbangan.“ Kantor Cabang Bukti lain betapa MMC telah menangkap globalisasi sebagai sesuatu yang tidak boleh diabaikan muncul dalam upaya mereka membuka kantor cabang serta pelayanan dan informasi di Indonesia dan Kamboja.

Di Indonesia antara lain mereka membuka pelayanan di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bali, Banda Aceh, dan Batam. Relasi dengan MCC juga bisa dilakukan secara digital, sehingga memudahkan calon pasien dari mana pun bisa mengadakan koneksi dengan mereka secepat mungkin.
Bahkan di rumah sakit ada hotspot dan kios internet, sehingga pasien dan keluarga bisa berhubungan dengan dunia kapan pun.

Dilihat sepintas, MCC tampak sebagai semacam usaha bisnis kesehatan murni.
Mereka tidak mengurusi jaminan kesehatan, sebab pemerintahlah yang bertanggung jawab pada kesehatan orang-orang miskin.

Ditanya apakah tidak mempunyai tanggungjawab social, humas MMC menjawab bahwa mereka  memang tidak melayani para pengguna jaminan kesehatan (1 RM untuk penduduk dan 5 RM untuk orang asing). Akan tetapi MMC memberikan semacam corporate social responsibility (CSR) ke berbagai kota di dalam dan luar negeri. Kami sering menyelenggarakan khitanan massal atau pengobatan gratis,“ tutur Aznan Sham Azhari, humas MMC.
                                                                         
Sumber: Triyanto Triwikromo- Suara Merdeka, 8 Juni 2012

09 Mei 2012

orang miskin dilarang sakit!!!

Mencermati pemberitaan di berbagai media massa tentang persoalan asuransi kesehatan warga miskin (askeskin) akhir-akhir ini, timbul pertanyaan menggelitik seperti “Dilarang sakitkah orang miskin?”
Sungguh komplet persolan rakyat di negeri ini. Bencana bertubi-tubi datang silih berganti, seakan tak pernah berujung. Diberitakan bahwa beberapa rumah sakit (RS) menolak melayani pasien miskin karena tunggakan klaim askeskinnya belum dibayar oleh PT Askes.
Berita lain menyebutkan beberapa pasien miskin tak lagi bias cuci darah karena RS menolak kalau mereka tidak mau bayar sendiri. Berita mengejutkan ditayangkan sebuat TV swasta, bahwa ada calo yang bergentayangan di RS untuk menguruskan pasien askeskin mendapat kamar Sungguh kondisi itu membuat kita mengelus dada.
Salah siapakah itu, sudah miskin sakit pula? Jawaban apa yang bisa diberikan kepada sebagian besar masyarakat kita. Bukankah dalam konstitusi kita (UUD 45) setiap rakyat Indonesia dijamin haknya untuk hidup layak, yang artinya pula hak untuk hidup sehat.
Dalam Undang-Undang (UU) 23/1992 tentang Kesehatan disebutkan, masyarakatberhak untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Amanat dari ketentuan UU itu adalah bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab (kewajiban) untuk memenuhi hak masyarakat.
Kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan (khusunya bagi rakyat miskin) melalui fasilitas jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) atau yang biasa dikenal dengan askeskin, sesungguhnya adalah dalam rangka menjamin hak masyarakat sebagaimana tersebut dalam UU. Maka, pemerintah kemudian menjalin kerjasama dengan PT. Askes, salah satu BUMN di negeri ini, untuk mengelola dana pertanggungan bagi pasien miskin di seluruh Indonesia.
Pemerintah pun kemudian memberi tugas kepada  RS diseluruh Indonesia (yang ditunjuk) untuk melayani pasien miskin dengan pertanggungan biaya yang dikelola melalui PT Askes tersebut.
Namun demikian, di dalam perjalanannya melalui berbagai mekanisme evaluasi, ternyata ditemukan banyak penyimpangan, yang sumbernya adalah dari BUMN mitra pemerintah tersebut. Meski bukan sumber permasalahan satu-satunya karena ada temuan pula bahwa RS pun ada yang “nakal” dengan melipatgandakan klaim lima kali lipat, tapi kasus yang seperti itu harus dilakukan verifikasi dengan cermat tentang kebenarannya.
Menyikapi hal tersebut, Menteri Kesehatan mengambil langkah “cepat” dengan menghentikan segera kontrak kerjasamanya s/d akhir Desember 2007 (tidak memperpanjang kontrak) dengan PT Askes.
Dinyatakan pula bahwa sejak 1 Januari 2008, pelayanan askeskin ditangani sendiri oleh pemerintah, serta diserahkan pengelolaan dan pemanfaatannya kepada daerah setempat. Hal itu tertuang dalam SK Menkes 115/Menkes/2008 bertanggal 4 Februari 2008 tentang Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin.
Dilema
                Pemutusan kerja sama dengan PT Askes secara mendadak sebagaimana dilakukan saat ini, ternyata berimplikasi kepada banyak pihak, terutama dalam jangka pendek, terhadap masyarakat miskin.
                Sesungguhnya kebijakan itu bermaksud untuk tujuan efektivitas penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi rakyat miskin. Namun sayang sekali, kebijakan itu sepertinya dilakukan dengan terburu-buru (dapat dilihat dari rentang waktu antara pernyataan penghentian kerjasama dengan terbitnya SK Menkes tentang JPK Masyarakat Miskin)
                Tampak bahwa kebijakan itu tidak memikirkan secara cermat mekanisme pelaksanaannya; di antaranya penyiapan masa transisi peralihan dari system lama ke system baru, dan banyak hal teknis lainnya. Belum lagi persoalan hukum yang mincul, yang potensial menjadi sebuah sengketa.
                Intinya kebijakan itu ternyata memunculkan problem yang dilematis, yang tidak saja dihadapi oleh pemerintah (Depkes) tetapi juga oleh RS, dan terutama bagi masyarakat miskin. Bahkan, DPR memberikan ultimatum kepada Menkes untuk segera menyelesaikan masalah askeskin tersebut.
                Bagi pemerintah, tentu kebijakan itu sudah kepalang basah, mau tidak mau program harus tetap berjalan, risikonya adalah dengan segera mengeluarkan perintah kepada semua RS –baik negeri maupun swasta—untuk tetap melayani pasien miskin. Selain itu, segera mengucurkan dan kepada RS-RS yang ditunjuk.
                Tapi sungguh sayang, ternyata ditemukan fakta bahwa diantara 800 RS yang ditunjuk di seluruh Indonesia, yang akan diberi dana pelayanan pasien miskin , hanya ada 5 % yang mempunyai rekening untuk dapat segera ditransfer dana.
                Sementara itu dalam penyataannya, Jum’at 15 Februari 2008 di Yogyakarta, Dirjen Yanmed, mengatakan bagi RS yang tidak melayani akan dikenai sanksi. Secara yuridis, hal itu menimbulkan pertanyaan besar ketentuan hukum manakah yang akan dijadikan dasar terhadap tindakan tersebut.
Adilkah hal tersebut dilihat dari kepentingan RS? Hal itu sebenarnya menunjukkan pula ketidaksiapan dan ketidakkonsekuenan pemerintah dalam kebijakan baru tersebut.
                Apalagi ada persoalan yang belum jelas berkaitan dengan ketentuan tentang criteria masyarakat miskin, karena belum ditemukannya verifikator independen untuk menangani masalah itu.
                Lalu kriteria apa yang dipakai untuk melayani pasien miskin selama ini? Sungguh aneh.
                Bagi RS, selaku pihak yang diserahi tugas untuk melaksanakan salah satu tugas pemerintah dalam pelayanan kesehatan, dilemma yang dihadapi cukup kompleks, terlebih bagi RS swasta yang pembiayaannya ditanggung sendiri. Bisa jadi RS bangkrut (tutup) karena harus menanggung biaya untuk pelayanan pasien miskin, pelayanan kemanusiaan. Dengan harus membayar kewajiban kepada pihak ketiga, seperti gaji karyawan tenaga kesehatan, obat, dan dalam hal tertentu peralatan kesehatan, serta biaya operasional lainnya.
                Adapun bagi pasien miskin, dilemma terbesar yang dihadapi adalah terobati atau tidak terobati, secara ekstrem bisa disebut dilemanya adalah pilih hidup atau mati. Apalagi untuk mereka yang termasuk kategori pasien risiko tinggi, perlu perawatan khusus seperti cuci darah. Haruskah mereka tak tertolong karena ditolak oleh RS, atau kemanakah mereka harus mencari dana untuk bisa mendapatkan perawatan atau pengobatan. Kemana mereka harus ngutang, atau apa yang bisa mereka jual untuk ongkos pengobatan?
                Jawabannya, secara umum adalah dengan menghentikan pengobatan dan pasrah. Maka muncul ungkapan yang menyakitkan untuk menjawab persoalan itu, yakni “dilarang sakitkah orang miskin?”

Oleh: Dr. Endang Wahyati Yustina, SH.,MH
Diterbitkan oleh: Koran Harian Suara Merdeka,
Selasa 26 Februari 2008



01 Mei 2012

Visi Misi dan Tujuan Magister Hukum Kesehatan

                                           VISI
Menjadi komunitas akademik yang unggul dalam bidang hukum kesehatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kasih, keadilan, kejujuran, etis, dan humanis.
  MISI
   1. Mengembangkan hukum kesehatan dalam sistem hukum di  
       Indonesia.
  2. Mendorong proses pemahaman dan penerapan hukum yang 
       menjunjung tinggi nilai-nilai etika di bidang kesehatan.
3.     Menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada 
        masyarakat di bidang hukum kesehatan sehingga tercipta perlindungan hukum bagi health care
        providers (HCP) dan health care reciever (HCR) yang seimbang.
4.     Memberikan perhatian dan mencari pemecahan terhadap permasalahan hukum kesehatan yang 
        dihadapi oleh masyarakat melalui komunitas akademik.
5.     Mengembangkan jaringan kerjasama dengan berbagai institusi dan organisasi profesi yang
        berkaitan dengan hukum kesehatan.
TUJUAN
Tujuan pendidikan pada Program Studi Magister Hukum Kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata yaitu  menghasilkan Magister yang memiliki kompetensi:
1.   Profesional di bidang hukum kesehatan sehingga mampu mengembangkan hukum kesehatan sebagai  sub sistem hukum nasional dan responsif terhadap permasalahan aktual.
2.   Berpikir kritis, humanis, dan etis dalam menganalisis masalah-masalah kesehatan dan masalah  masalah   hukum yang dihadapi  dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip hak asasi manusia.
3.   Profesional dalam menangani perkara litigasi maupun non litigasi terhadap permasalahan aktual di  bidang hukum kesehatan.
4.    Melanjutkan studi pada jenjang yang lebih tinggi.

30 April 2012

penerimaan mahasiswa baru

Kegiatan
Semester Gasal 2012/2013
Semester Genap 2012/2013
Pendaftaran
Gel I  : April s.d Mei
Gel I  : Oktober s.d Desember 2012

Gel II : Juni s.d 15 September
Gel II : Januari s.d 30 Maret 2013
Tes Seleksi
Setiap Sabtu
Setiap Sabtu
Matrikulasi
Akhir September 2012
April 2013

Syarat Pendaftaran:
       1. Foto copy KTP (1 lbr)
       2. Pas foto berwarna ukuran 3x4 (3lbr) dan 4x6 (3lbr)
       3. Foto copy ijazah dan transkrip nilai yang telah dilegalisir oleh Dekan/Pejabat yang berwenang masing-masing
           1 lembar
       4. Biaya Pendaftaran Rp. 350.000,-

Biaya Perkuliahan:
       1.  Matrikulasi/ Studi               :  Rp.   2.500.000,-
       2.  41 SKS x Rp. 425.000,-   :  Rp. 17.425.000,-
       3.  UKP 3 semester                :  Rp.   5.250.000,-
       4.  Ujian Tesis                         :  Rp.   2.500.000,-
TOTAL                            :  Rp. 27.675.000,-
Pembayaran dilakukan melalui Bank OCBC NISP a.n Yayasan Sandjojo
dengan No. Rekening 035-810-05010-0

CP : Puji Handayani (081 3256 61612)
        Megasari          (085 716 4411 80)
Pink Bobblehead Bunny